SYEKH ABDUL HAMID AL BANJARI (DATU ABULUNG)
Riwayat singkat Syaikh Abdul Hamid Abulung Dalam sejarah pemikiran
keagamaan di kalimantan Selatan, pada abad ke 18 tersebutlah tiga tokoh
yang ternama dan masyhur di tengah-tengah masyarakat waktu itu yaitu: 1.
Syekh Abdul Hamid, dikenal dengan Datu Abulung 2. Syekh Muhammmad Arsad
Al-Banjari, dikenal dengan Datu Kalampayan. 3. Syekh Muhammad Nafis bin
Idris binAl- Husayn, dikenal dengan Datu Nafis. Pada masa pemerintahan
Sultan Tahilullah Syekh Abdul Hamid muda dan Syekh Muhammmad Arsyad
Al-Banjari keduanya sama-sama diberangkatkan ke Makkah Al- Mukarramah
untuk menuntut ilmu agama. Tidak diketahui dengan jelas berapa lama,
kepada siapa saja dan ilmu apa saja yang beliau pelajari di tanah suci
Makkah Al- Mukarramah. Saat kepulangan dari menuntut ilmu pun tidak
diketahui pula kapan waktunya. Sepulang dari menuntut ilmu di Tanah Suci
Makkah, Syekh Abdul Hamid Ablung mulai mengajarkan ilmu-ilmu yang sudah
didapatnya dari guru-guru beliau di Tanah Suci Makkah Mukarramah .
Sampai sekarang belum ditemukan ahli sejarah yang menulis atau mencatat
dengan jelas tentang riwayat hidup syekh Abdul Hamid Abulung atau yang
dikenal juga dengan sebutan Datu Abulung. Diberi gelar dengan Datu
Abulung karena ia tinggal dan dimakamkan di desa Abulung Martapura.
Namun, cerita yang didapatkan tentang hal ihwal beliau ini hanya melalui
penuturan atau cerita dari beberapa tokoh masyarakat yang di dengar
dari guru-guru atu orang- orang tua yang menceritakannya kembali secara
turun temurun. Tidak ada catatan atau pun cerita yang jelas tentang asal
usul Syekh Abdul Hamid, baik tentang tempat maupun tahun kelahiran.
Silsilah keturunan , baik dari pihak bapak maupun ibu, keturunan,
tempatnya dibesarkan, tempat tinggal dan tempat mejelis pengajiannya,
guru-guru dalam menuntut ilmu, kitab-kitab yang dipelajari maupaun yang
di ajarkan serta murid- murid yang pernah menimba ilmu kepadanya.
Menurut salah satu hikayat yang diperoleh bahwa Abdul Hamid Abulung
adalah urang buana (seorang keturunan asli banjar), namun tidak
diketahui dengan jelas berasal dari kampung mana dan keturunan siapa.
Hal ini disebabkan karena ia adalah orang yang berkelana. Konon dari
kecil ia sudah meninggalkan kampung halaman dan orang tuanya untuk
berkelana. Terhadap cerita masyhur dan tersebar di masyarakat sekarang
sekarang bahwa Seykh Abdul Hamid Abulung adalah seorang yang mempunyai
ilmu yang sangat tinggi di bidang ilmu tasawuf dan ilmu hakikat,
sampai-sampai bagi orang awam yang belum menguasai tingkatan-tingkatan
ilmu tauhid dan tasawuf akan kebingungan mendengar penuturan-penuturan
yang disampaikan dan dikeluarkannya. Bahlkan sampai ada yang mengatakan
bahwa ia mengajarkan sekaligus menyebarkan satu paham yang menyesatkan.
Padahal waktu itu masyarakat di sekitarnya masih lebih banyak yang awam
daripada yang sudah banyak belajar tentang ilmu tasawuf dan ilmu hakikat
. Di antara ilmu-ilmu yang diajarkan oleh beliau adalah ilmu Tasawuf.
Namun ilmu tasawuf yang diajarkan beliau kepada orang awam sangat
berlainan fahamnya dari pelajaran ilmu tasawuf yang telah dikenal dan
dipelajari masyarakat sebelumnya. Datu Abulung mengajarkan bahwa: Tiada
yang maujud hanya dia Tiada yang maujud selain-Nya Tiada aku melainkan
Dia Dia adalah aku dan aku adalah dia. Dalam pelajaran Syekh abbdul
Hamid Abulung juga diajarkan bahwa; Syariat yang diajarkan selama inin
adalah “kulit”belum sampai kepada “isi” (hakikat). Sedangkan pelajaran
yang selama ini diyakini dan dipahami oleh masyarakat umum, yaitu: Tiada
yang berhak dan patut disembah hanya Allah Allah adalah Khalik dan
selainya adalah makhluk, tiada sekutu bagi-Nya Ajaran inilah yang
dikatakan Datu Abulung hanya kulit, belum sampai kepada isi dan hakikat.
Ajaran Datu Abulung itu merupakan hasil pengaruh dari ajaran Abu Yazid
Al-bustami (M.874),Husein bin Mansur Al-Hallaj (858-922), yang kemudian
memasuki Indonesi melalui Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin di
Sumatera dan Syekh Siti Jenar di pulau Jawa . B. Menuntut Ilmu ke Tanah
Haram Menurut cerita, Abdul Hamid setibanya di Tanah Haram tidak
berkumpul bersama para Thalabah atau penuntut ilmu lainnya untuk
menuntut ilmu kepada para sekh yang menetep atau yang sesekali berziarah
dan berhaji di negeri itu, na,mun ia berjalan dan terus berkelana serta
mengembara untuk menemui pengajian- pengajian agama, majelis muzakarah
serta perkumpulan-perkempulan orang. Dalam perjalanan itu apabila
bertemu dengan orang di suatu pengajian dan perkumpulan ia akan bertanya
kepada orang –orang tersebut: Siapakah tuhan Alllah itu ? Di manakah
Tuhan Alllah itu ? Apa bedanya manusia dengan Tuhan Alllah ? pertanyaan
inilah yang selalu ditanyakan oleh Abdul hamid kepada siapa saja yang
ditemukannya di manapun ia berada. Tidak ada catatan tentang guru-guru
atau orang-orang yang pernah Abdul Hamid temui untuk belajar atau
bertanya tentang berbagai masalah agama, terutama tentang ilmu tasawuf
dan ilmu tauhid, berbeda dengan Muhammmad Arsyad dan Muhammmad Nafis
yang dalam berbagai catatan atau pun riwayat yang menyatakan bahwa
mereka pernah belajar kepada beberapa ulama yang terkenal pada masa itu,
antara lain: 1. Syaikh Abdullah bin Hijazi As-syarqawi Al-Azhari (1150
H./1737 M-1227H/1812 M). 2. Syaikh Muhammmad bin abdul Karim As-Samman
Al-Madani (1132 H-1189H) 3. Syaikh abdurrahman bin Abdul Aziz Al-
Maghribi 4. Syaikh Shiddiq bin Umar Khan. 5. Syaikh muhammmad Al-Jawhari
Al- Mishri (1132 H- 1186 H/1720.-1772 M) 6. Syaikh abdullah bin syaikh
Ibrahim Al- Mir Ghani. 7. Syaikh Yusuf Abu dzarrah Al-Mishri. 8. Syaikh
Abu Fauzi Ibrahim bin Muhammmad Al-Ra’is Al-zamzami Al- Makki (1110
H-1194 H). 9. Syaikh Athaillah bin ahmad Al-mishsri Al-Azhar. 10. Syaikh
Muhammmad bin Sulaiman Al- Kurdi Madinah. 11. Syaikh ahmad bin Abdul
Mun’in Ad- Damanhuri. 12. Syaikh Sayyid abul Faydh Muhammmad Murtadha’
Az-Zabidi. 13. Syaikh Hasan bin Ahmad ‘Akisy Al- Yamani 14. Syaikh Salim
bin Abdullah Al-Bashri. 15. Syaikh Sayyid Abdurrahman bin Sulayman
Al-Ahdal. 16. Syaikh Abdurrahman bin Abdul Mubin Al-Fathani. 17. Syaikh
Abdul Ghani bin Syaikh Muhammad Hilal 18. Syaikh Abid As-Sindi 19.
Syaikh Abdul Wahab Ath-Thanthawi. 20. Syaikh muhammmad bin Ahmad Al-
Jawahir. 21. Syaikh muhammad Zayn bin Faqih Jalaluddin Aceh . C. Kembali
ke Tanah Air dan Mengembangkan Ilmunya Tidak diketahui dengan jelas
berapa tahun Syaikh Abdul Hamid tinggal di Tanah Haram untuk menuntut
ilmu dan tidak diketahui pula tahun berapa ia kembali ke Tanah Banjar,
karena kedatangannya ke kampungnya itu tidak melapor ke kerajaan yang
dulu mengirimnya untuk menutut ilmu ke Tanah Haram bersama Syaikh
Muhammmad Arsyad. Pada masa pemerintahan Sultan Tahmidillah pengajian
keagamaan semakin merak. Hal ini dikarenakan banyaknya pengajian-
pengajian aecara umum di bidang keagamaan, namun kebanyakan para ulama
saat mengadakan pengajian yang sifatnya lebih banyak menekankan pada
ketauhidan dan kesyari’atan. Kesemarakan ini juga disebabkan adanya
Syaikh Abdul Hamid Abulung yang juga membuka pengajian, namun pengajian
Syaikh Abdul Hamid Abulung memberikan pengajian yang lebih menekankan
pada tasawuf ketauhidan. Kebanyakan akidah masyarakat banjar pada ketika
itu adalah akidah Ahlussunnnah wal jama’ah, seperti yang telah
diajarkan dan ditanamkan oleh pengajar Islam kerajaan Banjar yang
pertama yaitu Kyai Khatib Dayyan. Akidah ini telah berurat berakar di
dalam hati masyarakat Banjar. Namun keyakinan yang telah tertanam di
masyarakat itu terusik dengan tersebar dan tersiarnya ajaran Syaikh
Abdul Hamid Abulung menyatakan bahwa ajaran yang selama ini diberikan
yaitu berupa tauhid dan syari’at hanyalah bagian luar atau ilmu kulit
dari ilmu kesejatian atau hakikat, bukan ilmu yang sebenarnya. Demi
mendengar semua itu maka gemparlah masyarakat ketika itu dan menjadi
pembicaraan serta perbantahan dan perselisihan, sebab mereka merasa
bahwa ajaran tersebut sangat berbeda dan bertolak belakang dengan ajaran
yang selama ini mereka terima yang disampaikan oleh para ulama dan para
juru dakwah sejak zaman Kyai Khatib dayyan . Kegemparan masyarakat itu
akhirnya sampai juga ke telinga Sultan Tahmidullah dan ia segera
bertukar pendapat dengan para ulama pada saat itu. Untuk mengadakan
penyelidikan dan mendengar langsung kabar tentang ajaran yang
disampaikan oleh Syaikh Abdul Hamid, maka sultan memerintahkan agar
syaikh Abdul Hamid Abulung dipanggil dan dihadirkan ke istana. Kemudian
sultan mengutus dua orang pegawai istana untuk menemui syaikh Abdul
Hamid Abulung di rumhanya dan mengajaknya ke istana atas perintah
sultan. Sesampai di rumah Syaikh Abdul Hamid Abulung kedua utusan istana
mengetuk pintu seraya memberi salam. “ Assalamu’alaikum” ucap kedua
utusan istana “Wa’alaikumusalam” jawab Syaikh Abdul Hamid “mari masuk
dan silakan duduk!, “ kata syaikh Abdul Hamid kepada kedua tamunya.
“Terima kasih,” jawab kedua utusan istana itu, sambil masuk dan duduk di
hadapan Syaih Abdul Hamid. “ada keperluan apa kalian datang ke rumahku
ini ?” tanya syaikh Abdul Hamid. “Begini tuan, kami berdua diutus ke
rumah tuan syaikh Abdul Hamid untuk mengundak tuan agar dapat hadir di
istana sekarang,” kata kedua utusan sultan menerangkan maksud kedatangan
mereka itu. “Maaf saudara, di sini tidak ada Abdul Hamid. Di sini hanya
ada “Tuhan” jawab Syaikh Abdul Hamid dengan mantap dan penuh wibawa.
“jadi bagaimana ini ? apa yang harus kami katakan kepada sultan ?,”
tanya kedua utusan tadi dengan perasaan bingung. “ katakan saja kepada
sultan bahwa di rumah ini tidak ada Abdul Hamid yang ada hanya ada
“Tuhan”,” ucap Abdul Hamid. “Baiklah kalau begitu, akan kami katakan
kepada sultan seperti apa yang tuan sarankan,” kata kedua orang utusan
istana itu sambil beranjak keluar dari rumah Syaikh Abdul Hamid.
Sesampai di istana kedua orang utusan itu menyampaikan apa-apa yang
mereka alami di rumah Syaikh Abdul Hamid, dan mereka meyampaikan apa-apa
yang dikatakannya bahwa syaikh Abdul Hamid tidak ada dan yang ada hanya
“Tuhan”. Mendengar jawaban tersebut maka sultan memerintahkan kedua
orang utusannya kembali untuk memangggil dan mengundang “Tuhan” agar
dapat berhadir ke istana. “Katakanlah kepadanya bahwa “Tuhan” dipanggil
dan diundang ke istana oleh sultan,” perintah sultan kepada kedua
utusannya. Maka berangkat lagi kedua utusan istana itu ke rumah Syaikh
Abdul Hamid. Sesampai kedua utusan tersebut di tempat tinggal Syaikh
Abduk Hamid mereka kembali mengetuk pintu rumah Syaikh Abdul Hamid.
“Assalamu’alikum,”kedua utusan tersebut memberi salam. “Wa’alaikumus
salam,” terdengar jawaban Syaikh Abdul Hamid. Apakah ada keperluan lagi
sehingga kalian berdua kembali lagi datang ke sini ?.” lanjutnya.
“Memang kami mempunyai keperluan yang amat sangat,” sahut salah satu
utusan. “kami diperintahkan sultan untuk memanggil “Tuhan” dan
mengundangnya datang ke istana,” sambung utusan tadi. “Tuhan” tidak ada
yang ada Abdul Hamid,’ jawab Syaikh Abdul Hamid Abulung dengan tegas.
Jawaban Syaikh Abdul Hamid Abulung yang tegas tersebut membuat kedua
utusan sultan kebingungan dan kehilangan akal. Kali ini kedua utusan
sultan harus kembali kecewa karena gagal menghadirkan Syaikh Abdul Hamid
Abulung ke istana disebabkan jawabannya yang menyatakan bahwa “Tuhan”
tidak ada yang ada hanya Abdul Hamid. Dari jawaban tersebut timbullah
masalah yang sangat pelik yang dihadapi sultan. Sultan pun segera
meminta pendapat para ulama. Setelah bertukar pendapat dengan sultan,
mendengar beberapa kesaksian dan meneliti serta menelaah bebrapa kitab
yang muktamad, akhirnya para ulama berkesimpulan bahwa ajaran yang
disampaikan Syaikh Abdul Hamid Abulung dapat menyesatkan keyakinan dan
akidah masyarakat awam, dapat membawa kesyirikan dan merusak kehidupan
keagamaan. Dan para ulama menyatakan bahwa kewajiban seorang pemimpin
untuk menyelamatkan akidah rakyat yang dipimpinnya seperti yang terdapat
dalam kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah karangan Imam Abu Hasan Ali
al-Mawardi. Oleh karena itu, disarankan kepada sultan agar memberikan
keputusan dan hukuman yang seadil-adilnya demi kemaslahatan masyarakat
banyak . Setelah sultan mengambil keputusan maka diperintahkan utusan
untuk memanggil syaikh Abdul Hamid Abulung dengan perintah dan pesan
siapa pun yang ada, apakah “Tuhan” ataukah Abdul Hamid yang ada itulah
yang dipanggil untuk datang ke istana. Akhirnya Syaikh Abdul Hamid mau
berhadir ke istana untuk menemui sultan. Sultan menerangkan maksudnya
mengapa dia sampai memanggilnya ke istana. Dan juga mengatakan bahwa
keputusan sultan dari hasil musyawarah dengan para ulama adalah
menyingkirkan atau membunuh Tuan Syaikh Abdul Hamid Abulung. “saya tidak
akan mengubah keyakinan saya karena saya yakin seyakin-yakinnya bahwa
apa yang saya ajarkan itu tidak sesat seperti yang disangka orang,
karena kmungkinan besar mereka belum memahami dan belum mengerti dengan
ilmu yang saya ajarkan saat ini,” ucapnya dengan tegas. “saya akan
hadapi apaun resikonya atas apa yang saya lakukan dan saya yakini, dan
saya tidak akan mundur setapak dan sejengkal pun walaupun berbagai
ancaman dan hukuman yang akan ditimpakan kepada saya, karena saya yakin
makhluk apa pun yang ada di dunia ini tidak akan memberi bekas kepada
saya, baik api, tanah, air, dan makhluk lainnya,”sambung Abdul Hamid
dengan mantap. Akhirnya Abdul Hamid Abulung dimasukan ke dalam keranjang
yang terbuat dari besi yang sangat berat, ukuran kerangkeng besi
tersebut di buat seukuran dengan tubuh, hanya cukup untuk berdiri,
kemudian bersama dengan kerangkeng itu Abdul Hamid Abulung dibenamkan ke
dasar sungai di Lok Buntar, sekitar 15 Km dari makamnya sekarang yaitu
di desa Sungai Batang Martapura . Tanpa diketahui orang suatu keanehan
terjadi, apabila waktu shubuh telah tiba kurungan besi yang sangat berat
itu muncul di permukaan air sungai dan Syaikh Abdul Hamid melaksanakan
kefardhuan shalat shubuh di atas air dan keluar dari kurungan besi.
Setelah selesai melakukan ibadahnya beliau masuk kembali ke dalam
kurungan besi itu dan kurungan besi yang berat tersebut perlahan
tenggelam kembali ke dasar sungai. Demikian juga kurungan besi itu akan
muncul ke permukaan air sungai apabila waktu shalat fardhu telah tiba
dan apabila telah selesai melaksanakan kefardhuannya serta ibadah yang
lainnya kurungan besi itun kembali tenggelam ke dasar sungai. Pada suatu
malam hari menjelang waktu shubuh sepuluh orang pencari ikan menjala di
sekitar sungai tempat Syaikh Abdul Hamid Abulung ditenggelamkan. Pada
saat asyik-asyiknya mereka mencari ikan, samara-samara mereka mendengar
suara azan. Perlahan-lahan mereka mendekati sumber suara adzan tersebut,
dari kejauhan mereka melihat keganjilan dan keanehan yang terjadi pada
diri Syaikh Abdul Hamid Abulung. Sejak melihat keganjilan tersebut
mereka mengangkat beliau menjadi guru mereka. Dari beliau mereka belajar
berbagai ilmu pengetahuan agama Islam. Setelah direndam beberapa lama
di air Datu Abulung tidak juga mati. Bahkan terjadi peristiwa ajaib,
yaitu bila tiba waktu shalat, beliau keluar dari kurungan dan melakukan
shalat di atas air. Peristiwa ini terjadi berulang-ulang , Maka sultan
meerintahkan punggawanya untuk mengangkat dan mengeluarkan nya kemudian
membawanya ke istana untuk menemuinya, namun sebelum syaikh Abdul Hamid
Abulung datang ke istana sultan melakukan siasat untuk menjebaknya di
perjalanan dengan meletakan perangkap di tempat Syaikh Abdul Hamid
lewat, kemudian sultan memerintahkan punggawanya untuk membawa syaikh
Abdul Hamid kembali ke istana. Saat Abdul Hamid melewati sebuah jalan ia
memijak sebuah lobang yang diatasnya ditutupi dedaunan, maka melesetlah
sebilah tombak tajam tersebut berhenti di udara dan jatuh ke tanah
tepat di belakang tubuhnya tanpa diketahuinya. Tidak lama kemudian
sampailah Syaikh Abdul Hamid di hadapan sultan di istana dan ia
mengatakan bahwa ia tidak dapat dibinasakan dengan alat dan benda apa
pun. “Tuan Syaikh, sekarang aku sadar bahwa ilmu yang engkau miliki itu
memang benar adanya dan orang yang mengatakan bahwa tuan Syaikh itu
tidak mengerjakan shalat itu juga tidak benar, tetapi aku mohon
pengertian Tuan Syaikh untuk memahami keadaan masyarakat sekarang ini
sebab mereka masih banyak yang belum mengerti tentsng ilmu yang
diajarkan Tuan Syaikh sehingga mereka banyak yang menjadi sesat,
sedangkan ini semua adalah tanggung jawab saya sebagai sultan di
kerajaan Banjar ini,” ucap sultan “ kalau begitu baiklah dan mungkin
juga ajalku sudah dekat,”kata Syaikh Abdul Hamid Abulung. “saya sebagai
sultan dan mewakili seluruh rakyat di sini mengucapkan maaf dan ampun
serta terima kasih yang setinggi- tingginya atas pengertian tuan Syaikh
Abdul Hamid atas semua ini,”ucap sultan . Di hadapan sultan Datu Abulung
mengatakan bahwa beliau tidak dapat dibinasakan dengan alat apapun dan
jika raja ingin membinasakannya haruslah dengan senjata yang berada di
dinding rumah beliau dan menancapkan di dalam daerah lingkaran yang
beliau tunjukan dibelikat beliau. Kemudian sultan mendengarkan
penjelasan Datu Abulung, maka raja memerintahkan kepada ajudannya untuk
mengambil senjata yang telah disebutkan Datu Abulung. Setelah
mendapatkan senjata tersebut ajudannya menyerahkannya kepada sultan.
Sebelum senjata itu ditudukkan ke tempat yang telah dikatakan oleh Datu
Abulung, beliau minta izin dulu untuk shalat sunnah dua rakaat, dan
permintaan itu dikabulkan oleh sultan. Setelah Datu Abulung shalat dua
raka’at senjata tersebut ditusukkan di tempat yang sudah beliau
tunjukan, maka memancarlah darah segar dari situ. Namun yang sangat aneh
dan mengagumkan adalah bahwa dari ceceran darah segar tersebut bergerak
perlahan-lahan dan membentuk sebuah tulisan, tulisan tersebut secara
perlahan- lahan pula menjadi sebuah kalimat: “Laa ilaaha illallah
Muhammadur Rasulullah” Tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan Allah Sultan dan orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut
tercengang serta terkagum-kagum sambil mengucapkan: “Innaa lillahhi wa
innaa ilaihi raaji’un” Dengan kejadian tersebut terbukti lah bahwasanya
ajaran yang disebarkan oleh Datu Abulung tidaklah sesat, dengan kata
lain ajarnya sesuai saja dengan kaidah Islam. Akan tetapi ajaran
tersebut sudah menduduki tahap yang paling tinggi yang apabila
dipelajari oleh orang awam bisa-bisa terjadi kesalahpahaman atau sesat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar